Yogyakarta, CNN Indonesia

Mantan calon wakil presiden, Mahfud MD menyebut kecurangan dalam proses pemilu dengan pola vertikal atau melibatkan pemerintah disinyalir kembali terjadi sejak 2019.

Mahfud menjelaskan, kecurangan pemilu yang bersifat horizontal atau antara sesama parpol, anggota parpol, atau peserta pemilu berlangsung di masa reformasi.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akan tetapi, lanjut dia, pola kecurangan ini berangsur mengalami pergeseran dan berubah menjadi vertikal. Pola ini melibatkan aparat negara atau penyelenggara.

“Itu (kecurangan vertikal) dihapus selama reformasi dan kita berhasil melakukannya dengan cukup baik, tapi sejak 2019 bergeser menjadi horizontal lagi melibatkan aparat, ditengarai,” kata Mahfud dalam seminar nasional di UII, Sleman, Rabu (8/5).

Pola ini pula yang diterapkan semasa era Orde Baru silam, di mana pemenang pemilu sudah ditentukan bahkan sejak sebelum pesta demokrasi dimulai sesuai keinginan penguasa.

Beberapa bentuk kecurangan yang ditengarai dipraktekkan sejak 2019 antara lain, mobilisasi aparat dan penggunaan fasilitas negara secara tersamar.

“Fasilitas negara dipakai tetapi dipakai alasan-alasan yang ada aturannya ‘nggak papa nggak papa ini berdasar ini berdasar itu’, padahal itu kecurangan. Sehingga kecurangannya menjadi terstruktur, sistematis, dan masif,” ungkap guru besar tata negara UII yang juga mantan Menko Polhukam itu.

Sejumlah dugaan praktik culas yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) ini sudah diseret ke meja Mahkamah Konstitusi (MK). Hanya saja di mata hakim semuanya diputus tak terbukti secara hukum.

Putusan itu sama halnya ketika dirinya dan Ganjar Pranowo selaku paslon peserta Pilpres 2024 menggugat hasil pemilu ke MK, di mana hakim menolak seluruh seluruh permohonan perselisihan hasil Pilpres yang diajukan kubunya.

Kendati, Mahfud memilih untuk tetap menerima keputusan MK yang memperkuat legalitas kemenangan paslon 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada gelaran Pilpres 2024.

Mahfud menerima kekalahan dalam pilpres maupun proses di MK sebagaimana kaidah ushul fiqih yang berbunyi hukmul hakim yarfa’ul khilaf. Atau bermakna keputusan hakim adalah mengikat dan menghilangkan perbedaan.

“Demi keadaban dalam berhukum meskipun, misalnya merasa tidak puas atau kecewa atas putusan MK saya harus menerima vonis MK itu sebagai produk pengadilan yang final dan mengikat,” katanya.

Sikap itu, penting ia ambil demi keberlangsungan pemerintahan. Perjalanan menjaga negara dan menjalankan pemerintahan sejalan dengan konstitusi wajib dikedepankan.

“Bagi kita yang penting negara ini harus terus berjalan tidak boleh mandek apalagi menjadi kacau hanya karena pertengkaran yang tak kunjung usai,” ujarnya.

(kum/pmg)

[Gambas:Video CNN]





Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *