Jakarta, CNN Indonesia

Dua sejarah, dua tokoh, dua peristiwa menjadi bagian dari penamaan sebuah masjid tua yang berada di tepi Jalan KH Mohammad Mansyur, Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat.

Nama masjid itu adalah Jami Al Mansur yang berdasarkan sejarah awal pendiriannya dilakukan keturunan Mataram, Pangeran Cakrajaya Adiningrat (Raden Abdul Mohit) pada 1717. Dulu, rumah ibadah itu disebut Masjid Kampung Sawah–dan disebut-sebut sebagai masjid pertama yang dibangun di Jakarta pada abad ke-18.

Hingga di masa perjuangan kemerdekaan RI, saat terjadi agresi militer Belanda, masjid tersebut menjadi salah satu basis perjuangan bagi masyarakat di Tambora. KH Muhammad Mansur alias Guru Mansur menjadi salah satu motor perjuangan dari Masjid Kampung Sawah.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Guru Mansur yang juga keturunan pendiri Masjid Kampung Sawah berani menentang Belanda dengna memasang bendera Merah Putih di atas menara rumah ibadah itu. Dia kemudian ditahan Belanda.

Kiai Haji Muhammad Mansur juga dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan kebanggaan masyarakat Betawi. Pada masa merebut kemerdekaan, Ia menjadikan Masjid Kampung Sawah sebagai markas para pejuang yang berada di sekitar Tambora. Pada saat Agresi Militer Belanda tahun 1947 atau 1948, Masjid Kampung Sawah pernah dikepung dan ditembaki oleh tentara NICA,” demikian tertulis di buku terbitan Ditjen KebudayaanKemendikbud, Masjid Warisan Budaya di Jawa dan Madura.

Hingga ketika wafat pada 1967, sebagai penghormatan atas perjuangan dan jasanya, jenazah KH Muhammad Mansur dan keluarganya dimakamkan di depan mihrab masjid Kampung Sawah itu. Selain itu, pemerintah pun resmi mengganti nama masjid itu jadi Masjid Jami Al Mansur.

“Pemerintah melihat jasa kepahlawanan dari KH Mansur melawan penjajah pada saat itu. Jadi nama masjid diubah menjadi Jami Al Mansur. Al Mansur itu diambil dari nama KH Muhammad Mansur,” kata pengurus Masjid Jami Al Mansur, Asril kepada CNNIndonesia.com.

Selain sebagai pejuang kemerdekaan, di masa hidupnya Guru Mansur  juga seorang pengarang dan penulis beberapa kitab rujukan, di antaranya adalah Sullamun Nayyirain. Kitab itu berisi tentang ilmu falak dan hisab, yang digunakan sebagai panduan untuk menetapkan bulan Hijriah.

Kitab tersebut masih digunakan oleh Kementerian Agama sebagai acuan dalam penetapan hari-hari besar Islam.

Kitab karya Kiai Haji Muhammad Mansur juga terus dipelajari dan dilestarikan hingga sekarang oleh para jemaah Masjid Jami Al-Mansur. Kegiatan ini menjadi ciri khas dari Masjid Jami Al-Mansur yang tidak ditemukan pada masjid-masjid lain. Setiap malam Kamis ba’da Isya, dilakukan pembelajaran ilmu
falak dan hisab yang didasarkan pada kitab Sullamun Nayyirain. Sedangkan pada malam Selasa dilakukan pengajian tasawuf,” demikian dikutip dari buku Masjid Warisan Budaya di Jawa dan Madura (2018).




Masjid Jami Al Mansur Jembatan LimaSuasana di dalam Masjid Jami Al Mansur, terlihat empat soko guru yang berkelir hijau. (CNN Indonesia/Lina Itafiana)

Perpaduan arsitektur Jawa, Arab, hingga China

Bangunan Masjid Jami Al Mansur mengusung gaya Jawa, Arab, dan Cina. Arsitektur pengaruh Jawa terlihat dari atap limasan susun tiga dengan konstruksi tiang saka guru.

Pengaruh Arab nampak dari bangunan menara dan pilar-pilar yang memiliki lengkungan. Bentuk pilar seperti ini lekat dengan ciri khas Moor yang berkembang di Arab.

Sementara pengaruh China terlihat pada hiasan ornamen yang terdapat pada pintu dan jendela masjid.

“Tapi udah keropos dimakan waktu, jadi banyak perubahan,” ujar Asril.




Masjid Jami Al Mansur Jembatan LimaMasjid Jami Al Mansur Jembatan Lima telah berstatus cagar budaya. (CNN Indonesia/Lina Itafiana)

Masjid Jami Al Mansur terdiri dari bangunan utama berupa ruang salat berbentuk persegi dan menara dengan tinggi sekitar 12 meter.

Pada ruang utama salat terdapat empat pilar saka guru beton berbentuk bulat seperti Order Dorik Yunani. Empat pilar saka guru menjadi unsur yang mencolok dari masjid ini.

Bentuk empat tiang itu semakin mengecil ke atas. Pada ketinggian setengah di antara keempat tiang saka guru terdapat balok-balok kayu sebagai penguat konstruksi saka guru dan untuk sarana tangga naik ke atas loteng.

Lalu, pada bagian atas di antara keempat pilar saka guru terdapat konstruksi papan yang merupakan sebuah loteng.

Keempat pilar batu saka guru yang masih terlihat kekar kokoh itu menopang atap masjid bangunan lama yang berbentuk limasan tumpang tiga.

Menara masjid berbentuk silinder dan beratap kubah berdiri di halaman depan. Menara ini dulu menjadi tempat Guru Mansur mengibarkan bendera merah putih yang memantik kemarahan Belanda.

Masjid Jami Al Mansur telah beberapa kali dipugar. Pemugaran berupa perluasan bangunan masjid dilakukan di bawah pimpinan Guru Mansur pada 1937.

Kemudian, pemugaran kedua dilakukan pada 1960-an. Bangunan masjid merapat dengan jalan di sisi selatan serta berdempetan dengan pemukiman warga di bagian utara dan timur.

Masjid ini pun telah ditetapkan sebagai cagar budaya tingkat provinsi lewat SK 475 Tahun 1993.

Tulisan ini adalah rangkaian dari kisah masjid-masjid kuno di Indonesia yang diterbitkan CNNIndonesia.com pada Ramadan 1445 Hijriah

(lna/kid)

[Gambas:Video CNN]





Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *