Jakarta, CNN Indonesia —
Badan Legislasi (Baleg) DPR membantah rencana revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) perubahan keempat terkait dengan isu perebutan kursi ketua DPR.
Wakil Ketua Baleg DPR, Achmad Baidowi menyebut revisi UU MD3 sejak 2019 masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas, bersama puluhan UU lain. Ia menegaskan rencana revisi UU MD3 tak berkaitan dengan isu revisi perubahan mekanisme pemilihan ketua DPR.
“Jadi RUU MD3 masuk prioritas itu sejak 2019. Setiap tahun selalu muncul di RUU Prioritas. Nggak ada kaitannya dengan yang sekarang yang lagi rame-rame,” ucap Awiek, sapaan akrabnya, saat dihubungi, Rabu (3/4).
Awiek menjelaskan sebuah UU masuk dalam Prolegnas karena menyesuaikan dinamika, politik, dan sosial masyarakat.
“Ya bahwa setiap undang-undang yang dianggap perlu masuk prioritas itu perlu direvisi karena memperhatikan dinamika sosial politik masyarakat yang ada di Indonesia. Kan sama statusnya itu,” ujarnya.
Politikus PPP itu juga menegaskan hingga saat ini belum ada wacana untuk kembali membahas RUU tersebut. Namun, Baleg DPR tetap membuka peluang daftar Prolegnas bisa berubah, termasuk di dalamnya RUU MD3.
“Tapi bisa dibahas sewaktu-waktu. Sampai hari ini tidak ada pembahasan UU MD3 di Baleg karena besok sudah reses,” kata Awiek.
Wacana revisi UU MD3 perubahan keempat mencuat bersamaan dengan persaingan perolehan suara antara Golkar dan PDIP. Sejumlah narasumber di internal DPR dan partai sebelumnya membenarkan kabar revisi UU MD3.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia mengungkap pihaknya membuka peluang komunikasi untuk merevisi UU MD3. Komunikasi terutama akan dilakukan dengan partai-partai pengusung Prabiwo-Gibran.
“Kecuali jika nanti ada pembicaraan-pembicaraan lain, dan tentu itu pembicaraan akan terjadi antara Pak Prabowo, Mas Gibran, juga dengan partai-partai politik yang melakukan kerja sama kemarin di pemilihan Pilpres,” kata Doli dalam jumpa pers di kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (21/3).
Berdasarkan UU MD3 yang berlaku saat ini, ketua DPR akan diberikan kepada partai dengan perolehan kursi terbanyak hasil pileg. Namun dalam kasus perolehan kursi sama, ketua DPR akan diberikan kepada partai peraih suara terbanyak hasil Pileg.
Sementara, jika suara dan kursi masih sama, opsi terakhir akan ditentukan berdasarkan persebaran kursi di sejumlah daerah hasil pemilihan.
Golkar pernah mendapat jatah kursi ketua DPR usai Pileg 2014 lalu, meski suara mereka kala itu berada di urutan nomor tiga di bawah PDIP dan Gerindra. Oleh karenanya, aturan penentuan kursi ketua DPR masih berpeluang berubah jika UU MD3 direvisi.
(thr/fra)